Monday, March 16, 2009

Oleh-oleh dari Sosialisasi Permendag No 53/2008


Kedatangan saya ke seminar Sosialisasi Permendag No 53/2008 khususnya tentang Trading Term pada Jumat, tanggal 13 Maret 2009 lalu seperti ajang temu kangen dengan para pemasok pasar modern. Ketika menginjakkan kaki ke lantai 2 di lobi ballroom sport club Kelapa Gading saya langsung disambut 3 perempuan cantik yang langsung mencecar saya dengan ucapan,”Hai Pak Guswai, masih ingat sama kita-kita tidak?”. Wah, hampir 6 tahun meninggalkan dunia praktis membuat saya seolah menderita amnesia ringan. Saya memang gampang ingat wajah tetapi sulit mengingat nama-nama indah mereka. Singkat cerita saya masuk ke ruangan ballroom yang sudah dipenuhi para undangan yang sebagian besar adalah pemasok. Saya sempat bertanya-tanya apakah hanya pemasok yang boleh hadir? Pertanyaan saya segera terhapus ketika melihat beberapa rekan dari peritel juga hadir di ruangan atas undangan Ketua Umum AP3MI.

Di luar dugaan dari pihak panitia maupun nara sumber yang diundang ternyata acara sosialisasi Permendag ini sangat diminati oleh para pemasok ritel modern. Sayang Menteri Perdagangan yang diundang tidak menghadiri acara ini tetapi hanya mengutus Sekretaris Dirjennya.

Singkat cerita acara dimulai dengan beberapa sambutan dari tamu-tamu VIP antara lain Ketua Umum AP3MI, Ketua Umum Aprindo Bapak Benjamin J. Mailool, Wakil Ketua Umum Bapak Pudjianto, Ketua Harian Aprindo Bapak Tutum rahanta, Anggota KPPU Bapak Tadjudin, serta Sekretaris Dirjen Departemen Perdagangan RI Bapak Gunaryo.

Setelah sambutan dari para tamu VIP acara dilanjutkan dengan tanya jawab antara hadirin dan nara sumber yang terdiri dari tamu-tamu VIP tadi.

Acara tanya jawab yang terdiri dari tiga termin jelas tidak menjawab kebutuhan hadirin mengingat masih banyak penanya yang tidak terakomodasi.

Beberapa poin yang tertinggal dari sosialisasi tersebut antara lain:

· Pemasok merasa bahwa implementasi di lapangan tidak berjalan sesuai isi Permendag No 53/2008. Hal ini menjadi pertanyaan pada umumnya dari pemasok.

· Aprindo mengutip survei dari Nielsen mengatakan bahwa peran dari ritel modern masih sangat kecil yaitu 0.5% dari total bisnis ritel. Pemasok mempunyai pilihan untuk memasok ke pasar modern atau ke pasar tradisional dengan segal konsekuensinya.

· Aprindo menjelaskan bahwa sampai sekarang sudah terbentuk margin dari trading term, tentunya tidak bisa serta merta dihilangkan begitu saja. Faktanya net profit dari peritel sangat kecil berkisar di angka 1%-2% saja. Bahwa terjadi perpindahan pos pada pembahasan trading term adalah hal yang dianggap wajar.

· Akan di bentuk forum komunikasi oleh Departemen Perdagangan untuk menjembatani permasalahan seputar implementasi Permendag No 53/2008.

Beberapa peserta sosialisasi yang saya temui merasa bahwa hasil dari sosialisasi masih mengambang, tidak ada jawaban tuntas. Ketua AP3MI sendiri di akhir dari acara menyampaikan pesan untuk menggunakan AP3MI sebagai wadah menyalurkan aspirasi dan permasalahan sehubungan dengan kerja sama dengan pemasok. Memangnya selama ini belum demikian?

Peran ritel modern memang masih kecil

Pemasok yang hadir di acara sosialisasi tersebut memang dari divisi yang memasok pasar modern. Bisnis mereka memang kecil dari ritel modern tetapi kepentingan mereka yang hadir bukanlah kepentingan seluruh perusahaan karena yang hadir hanya mewakili kepentingan divisi/bagian dari yang mensuplai ritel modern. Memang peran ritel modern masih kecil namun pertumbuhannya sangat menjanjikan.

Siapa melindungi peritel kecil di daerah?

Pandangan yang juga saya tanyakan ke nara sumber meskipun tidak terjawab dengan tuntas adalah bahwa jika kita semua sadar bahwa peran sektor ritel sangat penting lalu mengapa belum ada undang-undang atau peraturan menteri guna melindungi peritel kecil yang ada di daerah-daerah? Jika di dalam ruangan seminar kemarin terbentuk suasana seolah-olah pemasok teraniaya oleh peritel besar maka hal sebaliknya juga terjadi. Pemasok yang merasa kuat juga menekan peritel kecil. Peritel kecil di daerah yang lahir dari putra daerah mendapatkan perlakuan yang kurang memadai baik dari segi suplai apalagi dari dukungan berupa trading term yang fair. Tidak jarang peritel kecil di daerah tersebut tidak mendapatkan dukungan seperti yang diterima peritel modern besar skala nasional. Sebagai akibatnya mereka akan kehilangan daya saing mana kala peritel skala nasional baik asing maupun lokal masuk ke daerah. Kita lihat bahwa Carrefour, Giant, dan Hypermart seperti berlomba-lomba menyerbu ke kota provinsi bahkan ke kota Kabupaten.

Saya melihat bahwa acara sosialisasi tersebut bagus sebagai pembuka jalan ke arah tindakan yang lebih konkrit. Forum komunikasi yang akan dibentuk semoga segera terwujud dan bisa menjadi solusi dari permasalahan yang pastinya tidak akan mudah ini. Meski Aprindo secara resmi mengatakan akan tunduk pada peraturan namun menurut hemat saya pada akhirnya kesepakatan kedua belah pihak akan menentukan kelancaran kerja sama daripada tekanan pihak luar.

Ketergantungan pada Peritel Modern Skala Besar

Sekali lagi saya tekankan bahwa situasi sekarang ini terjadi karena selama ini pemasok kurang mendukung peritel kecil lainnya khususnya di daerah-daerah sehingga ketergantungan kepada peritel modern skala besar baik nasional maupun multinasional makin menjadi-jadi. Hal inilah yang sekarang dituai oleh para pemasok. Maju kena mundur tak rela. Sudah waktunya pemasok bersatu padu di bawah perhatian lebih baik dari pemerintah agar peritel kecil diberi dukungan serupa dengan yang diterima peritel besar sehingga dengan demikian penjualan tidak terlalu tertumpu pada hanya beberapa peritel besar saja. Terpusatnya kekuatan pada hanya beberapa peritel besar pasti tidak akan pernah baik, itu sama dengan meletakkan seluruh telur yang dimiliki ke dalam satu keranjang.

Jalan masih panjang, pekerjaan pemerintah pun beragam. Pelaku dunia usaha toh tetap harus bergerak dan mencari solusi terbaik bagi perkembangan usahanya.


4 comments:

  1. Pak Gus Wai, Majalah Swa Edisi No. 06/XXV/09 memuat sajian utama tentang bisnis ritel. Kenapa data dari artikel di atas dgn yg di Swa berbeda, yaitu utk :
    "...Aprindo mengutip survei dari Nielsen mengatakan bahwa peran dari ritel modern masih sangat kecil yaitu 0.5% dari total bisnis ritel." Di majalah Swa, untuk produk FMCG kemas bermerek, ritel modern sharenya 52%, sedang ritel tradisional hanya 48%.

    "...Faktanya net profit dari peritel sangat kecil berkisar di angka 1%-2% saja." Data dari majalah Swa, Margin ritel modern yg berasal dari penjualan produk 4.5%, dari trading term 12.5%. Jadi total margin = 17%.

    Mohon penjelasannya.

    ReplyDelete
  2. Jelas sekali bedanya, seperti yang Anda kutip, produk FMCG kemas bermerek. Sedangkan yang dimaksud dan disampaikan dalam sosialisasi tersebut adalah total bisnis ritel modern versus ritel tradisionil.
    Mengenai net profit, yang dimaksud 1-2 % adalah bottom line, angka ratio paling bawah dari sebuah laporan keuangan, Sedangkan yang disebut margin ritel oelh SWA adalah gross margin (dari hasil penjualan di toko) plus margin yang diperoleh dari trading term (berupa rebate, macam-macam fees lainnya yang tercantum dalam trading term).
    Semoga menjelaskan.
    Salam,

    ReplyDelete
  3. "...Sedangkan yang dimaksud dan disampaikan dalam sosialisasi tersebut adalah total bisnis ritel modern versus ritel tradisionil."

    Terimakasih atas penjelasannya pak Gus Wai. Tapi saya menganggap bahwa data yg dikutip Aprindo itu masih terlalu general. Alangkah baiknya jika data yg dikutip lebih spesifik, spt di majalah SWA dimana disajikan kontribusi ritel modern vs tradisional berdasarkan 54 kategori FMCG & rokok (20.2% vs 79.8%).

    "..Mengenai net profit, yang dimaksud 1-2 % adalah bottom line, angka ratio paling bawah dari sebuah laporan keuangan,"

    Dari data berikut untuk beberapa perusahaan ritel Tbk yg cukup terkenal, Return on Equity-nya (ROE) rata2 di atas 5 % pak.

    Matahari putra Prima Tbk

    Hero Tbk

    Metro Supermarket Tbk

    Untuk perusahaan ritel lainnya seperti Carrefour, Alfamart, Indomaret, Superindo, Macro, saya tidak ada datanya. Tapi sebagai gambaran kasar, dari link berikut (data dari tabloid Kontan), sebuah outlet Indomaret payback-periodnya bisa tercapai dalam 3 tahun, atau Return on Investmentnya setiap tahun sekitar 30%. Bisa dicek di sini

    Saya tidak bisa membayangkan sebuah bisnis (baik ritel atau bukan) bisa sustainable dgn net profit hanya 1-2%.

    ReplyDelete
  4. Terima kasih atas info Anda.
    Saya tidak dalam posisi mengatakan apakah data dari Aprindo benar atau tidak karena saya juga tidak mewakili Aprindo. Lagipula data yang disampaikan itu merupakan counter argument terhadap tekanan dari para pemasok yang sangat ingin supaya Permendag No 53 dilaksanakan. Tentu saja dari pihak Aprindo akan menggunakan statistik yang bersifat general.
    Sedangkan komentar Anda terhadap laporan keuangan dari masing-masing peritel, tentu saja untuk kepentingan share holders maka pasti datanya diupayakan sebaik-baiknya, khsususnya mereka yang go public.
    Memang betul bahwa net profit dari bisnis ritel itu 1-2% dan itu lagi-lagi merupakan angka statistik. Namun harus diingat bahwa di dalamnya perusahaan ritel sudah membiayai semua pertumbuhannya termasuk investasi yang dibebankan dalam depresiasi dan amortisasi. Kedua, memang jika ingin melihat uangnya sebuah peritel harus tumbuh. Satu sampai dua persen dari 100 juta akan berbeda jika dikali dengan sales 3 trilliun. Terima kasih.

    ReplyDelete