Untuk kedua kalinya saya ditunjuk untuk mengisi workshop pada
acara tahunan Retail Summit yang diadakan oleh The Nielsen Indonesia,
perusahaan riset kelas dunia, di lima kota besar utama yaitu: Bandung,
Surabaya, Palembang, Jogjakarta, dan kota penutup tahun ini adalah Medan.
Selalu menyenangkan bertemu dengan para peritel lokal di
daerah khususnya mereka yang berangkat dari usaha keluarga yang saat ini
beberapa di antaranya dilanjutkan oleh generasi kedua. Sayangnya passion dari generasi penerus dalam
banyak kasus tidak sehebat passion
dari orang tua yang mendirikan bisnis mereka. Beberapa di antaranya bahkan
berhenti di tengah jalan, tidak mampu bertumbuh. Sebagian lagi adalah
pemain-pemain baru yang mencoba peruntungan di dunia retail.
Sudah menjadi kebiasaan saya untuk mengedarkan kuesioner
kepada peserta sebelum workshop dimulai, Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
seberapa dalam peserta workshop memahami materi yang akan saya sampaikan.
Sangat menarik untuk mengetahui apa yang terjadi. Di salah
satu dari isi kuesioner saya memberikan
pertanyaan sederhana untuk mengetahui apakah peserta memahami cara menghitung “jumlah
barang“ yang harus dibeli ketika mereka membuka surat pesanan (PO) kepada
pemasok (supplier). Hal ini adalah pekerjaan rutin mereka (peritel) apalagi
sebagian besar pengusaha masih mengendalikan sendiri surat pesanan kepada
pemasok untuk alasan keamanan karena bagian pembelian diyakini sebagai daerah
basah yang rawan kecurangan. Jadi penting bagi pemilik/pebisnis retail untuk
tahu cara menghitung jumlah barang yang akan dipesan dengan benar bukan?
Faktanya dari dua kota besar terakhir yang saya sudah lewati
saya mendapatkan fakta bahwa hanya 2 orang peserta workshop dari sekitar 50-an
peserta di Surabaya dan 40-an peserta di Palembang yang menjawab dengan “benar”
atau tidak sampai 10 persen yang menjawab benar.
Ini suatu fakta yang agak memprihatinkan namun itulah
realita dari pelaku usaha bisnis retail kita di daerah. Kompetensi mereka dalam
mengelola bisnis retailnya sangat jauh dari standar yang semestinya.
Hal ini diperparah dengan rendahnya semangat belajar dari
mereka. Bisa dilihat dari peserta yang hadir tepat waktu yang hanya separuh
dari kapasitas tempat yang tersedia. Keinginan mereka memiliki buku-buku yang
bisa menambah pengetahuan sekaligus menaikkan kompetensi mereka pun juga rendah.
Pertanyaan yang tersisa mampukah mereka mengatasi persaingan
dengan peritel skala nasional yang saat ini sudah merambah di semua kota besar
tadi? Persaingan tidak bisa diatasi dengan mengeluh. Saya mempunyai formula sederhana untuk
menghadapi persaingan: bersiap, belajar, dan memberikan yang terbaik. Jika
ketiga hal itu tidak dilakukan maka kecil kemungkinan mereka bisa menghadapi
persaingan.