Monday, November 04, 2013

Sudah Cukupkah Kompetensi Anda dalam Mengelola Bisnis Retail?

Untuk kedua kalinya saya ditunjuk untuk mengisi workshop pada acara tahunan Retail Summit yang diadakan oleh The Nielsen Indonesia, perusahaan riset kelas dunia, di lima kota besar utama yaitu: Bandung, Surabaya, Palembang, Jogjakarta, dan kota penutup tahun ini adalah Medan.
Selalu menyenangkan bertemu dengan para peritel lokal di daerah khususnya mereka yang berangkat dari usaha keluarga yang saat ini beberapa di antaranya dilanjutkan oleh generasi kedua. Sayangnya passion dari generasi penerus dalam banyak kasus tidak sehebat passion dari orang tua yang mendirikan bisnis mereka. Beberapa di antaranya bahkan berhenti di tengah jalan, tidak mampu bertumbuh. Sebagian lagi adalah pemain-pemain baru yang mencoba peruntungan di dunia retail.
Sudah menjadi kebiasaan saya untuk mengedarkan kuesioner kepada peserta sebelum workshop dimulai, Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa dalam peserta workshop memahami materi yang akan saya sampaikan.
Sangat menarik untuk mengetahui apa yang terjadi. Di salah satu dari isi  kuesioner saya memberikan pertanyaan sederhana untuk mengetahui apakah peserta memahami cara menghitung “jumlah barang“ yang harus dibeli ketika mereka membuka surat pesanan (PO) kepada pemasok (supplier). Hal ini adalah pekerjaan rutin mereka (peritel) apalagi sebagian besar pengusaha masih mengendalikan sendiri surat pesanan kepada pemasok untuk alasan keamanan karena bagian pembelian diyakini sebagai daerah basah yang rawan kecurangan. Jadi penting bagi pemilik/pebisnis retail untuk tahu cara menghitung jumlah barang yang akan dipesan dengan benar bukan?
Faktanya dari dua kota besar terakhir yang saya sudah lewati saya mendapatkan fakta bahwa hanya 2 orang peserta workshop dari sekitar 50-an peserta di Surabaya dan 40-an peserta di Palembang yang menjawab dengan “benar” atau tidak sampai 10 persen yang menjawab benar.
Ini suatu fakta yang agak memprihatinkan namun itulah realita dari pelaku usaha bisnis retail kita di daerah. Kompetensi mereka dalam mengelola bisnis retailnya sangat jauh dari standar yang semestinya.
Hal ini diperparah dengan rendahnya semangat belajar dari mereka. Bisa dilihat dari peserta yang hadir tepat waktu yang hanya separuh dari kapasitas tempat yang tersedia. Keinginan mereka memiliki buku-buku yang bisa menambah pengetahuan sekaligus menaikkan kompetensi mereka pun juga rendah.
Pertanyaan yang tersisa mampukah mereka mengatasi persaingan dengan peritel skala nasional yang saat ini sudah merambah di semua kota besar tadi? Persaingan tidak bisa diatasi dengan mengeluh.  Saya mempunyai formula sederhana untuk menghadapi persaingan: bersiap, belajar, dan memberikan yang terbaik. Jika ketiga hal itu tidak dilakukan maka kecil kemungkinan mereka bisa menghadapi persaingan.