Friday, June 19, 2009

Efektif atau Efisien, Mana yang Lebih Penting?


Kalau Anda ditanya penting mana antara efektif dan efisien? Maka jawaban spontan adalah kedua-duanya. Sekarang kalau ditanya, mana yang lebih penting? Dan dipertajam dengan, kalau harus pilih salah satu, utamakan efektif atau efisien? Pada umumnya langkah pertama adalah melakukan cutting cost. Tindakan cutting cost pasti dilandasi oleh semangat efisiensi.

Baiklah saya ceritakan 2 kasus berikut yang baru saja diceritakan rekan baik saya Pak Yongky dari The Nielsen Company Indonesia siang tadi. Nama dua peritel yang dikisahkan akan saya rahasiakan karena tidak ingin menimbulkan prasangka-prasangka lain selain ingin berbagi tentang topik di atas.

Dua buah peritel dengan format bisnis serupa. Bagaimana mereka bertindak menghadapi isu krisis ekonomi babak kedua yang gencar diberitakan di media massa sejak akhir tahun lalu.

Peritel A, melakukan efisiensi di segala bidang dengan melakukan cutting cost di segala bidang. Termasuk mengurangi tenaga kerja, mematikan AC (tokonya lebih panas dan pengap), mengurangi penerangan dengan mematikan sebagian lampu (tokonya lebih redup), dan tindakan-tindakan lainnya yang kesemuanya bertujuan menekan cost. Herannya tidak disertai upaya keras untuk melakukan sesuatu yang bisa menghasilkan peningkatan sales.

Peritel B, menghadapi situasi yang sama namun melakukan hal yang sama sekali berbeda. Krisis adalah saat berbenah. Mereka lakukan sejak tahun lalu. Beberapa toko berwajah baru, konsep baru, lebih cling, lebih terang dan lebih modern. Tampilan karyawannya pun dipoles sehingga lebih menarik. Di segi merchandising, mereka belajar dari situasi ekonomi masyarakat. Di bidang fashion, masyarakat tetap ingin sepatu baru, baju baru, meskipun uang sedang seret. Solusinya? Adakan sepatu, baju, dan produk murah lainnya. Tidak perlu yang mahal karena harga sebanding dengan kualitas, bukan? Jadi dengan kualitas yang tidak setinggi biasanya namun tidak kalah mode dengan trend terkini maka harga bisa lebih murah. Upaya yang dilakukan peritel B pun menampakkan hasil.

Menutup semester 1 peritel A membukukan penurunan sales, sedangkan peritel B malah menunjukkan kinerja yang sangat memuaskan, tetap tumbuh bahkan 2 digit.

Belajar dari dua kisah di atas, pada umumnya tindakan pertama kita dalam menghadapi krisis adalah menekan cost. Jarang sekali peritel berpikir bagaimana meningkatkan sales. Saya tidak ingin mempertentangkan kedua tindakan tersebut. Namun saya ingin menganjurkan supaya segala daya upaya kita bukannya digunakan untuk bagaimana memikirkan menekan cost, tetapi gunakan itu untuk meningkatkan sales. Tentu saja, sumber daya yang sudah ada harus produktif. Ini saatnya berbenah dari segala sisi. Semua orang harus pada performance terbaiknya. Justru pada saat krisis akan lebih mudah melihat siapa yang memberi kontribusi terbaiknya.

Efisien adalah baik. Bukan karena krisis kita harus efisien namun sebaiknya efisien sejak awal. Bukan karena krisis kita lalu memotong segala hal. Ingat tujuan utama dari bisnis kita. Menciptakan sales dan profit melalui upaya menyediakan kebutuhan pelanggan melalui ketersediaan barang, pelayanan yang prima, dan kepantasan harga dengan manfaat yang diperoleh.

Jika fokus Anda hanya pada cutting cost, pertanyaannya, bagaimana menyediakan kebutuhan yang diinginkan pelanggan? Contoh, di fresh product. Karena khawatir akan stock berlebih tidak terjual, kita tidak menjual sea food secara lengkap melainkan hanya pada week end. Lalu kalau hari biasa ada pelanggan yang ingin belanja sea food? Mereka harus kecewa dan ke tempat lain. Artinya kita tidak bisa diandalkan sebagai tempat belanja harian, melainkan tempat belanja akhir pekan saja.

Karena ingin efisien kita tidak mengoperasikan penuh AC, akibatnya toko menjadi lebih panas, pelanggan harus berkeringat belanja di tempat kita. Inikah layanan yang prima itu?

Karena ingin efisien,beberapa lampu dimatikan, bahkan yang putus tidak diganti dengan yang baru. Maka toko kita akan redup dan menimbulkan suasana remang-remang yang tidak bersemangat. Sama seperti semangat pengelolanya yang mulai redup.

Karena ingin efisien rasio pegawai dengan luasan area tidak sebanding mengakibatkan sulit sekali memuaskan pelanggan. Berapa sering pelanggan harus mencari-cari petugas kita yang seringkali menghilang dari peredaran di lapangan.

Tentu saja kasus-kasus di atas sama sekali jauh dari kebutuhan dasar dari sebuah bisnis retail yang seharusnya. Barangkali ini saatnya kita meninjau ulang taktik dan strategi kita dalam menghadapi krisis. Jika Anda mengutamakan kepentingan pelanggan Anda, mudah-mudahan mereka melihat kesungguhan itu dan menjadi setia dengan bisnis Anda. Mohon diingat 68% pelanggan beralih ke kompetitor Anda karena mendapatkan pelayanan yang tidak layak. Service tidak hanya sekedar ramah. Padahal tampilan ramah jauh lebih mudah dilakukan. Kalau untuk ramah saja kita bisa gagal, bagaimana untuk melakukan yang lebih dari itu. Semoga berguna.

Catatan: sebagai referensi, Anda bisa baca di 2 buku saya yang sudah terbit mengenai perluasan dari Service

Monday, June 15, 2009

Pelanggan Selalu Benar (2)


Ketika tulisan ke-1 dengan judul yang sama keluar di sini, banyak yang tidak sepaham dengan isi tulisan tersebut. Bahkan ada yang berpendapat bahwa urusan rumah sakit bukan hanya urusan pelayanan saja melainkan ….(berisi argumen dari yang tidak setuju).
Saya justru harus bertanya, kalau bukan urusan pelayanan lalu urusan apakah sebuah rumah sakit itu? Bukankah justru sebuah rumah sakit adalah sebuah usaha yang sarat dengan pelayanan. Saya tidak bisa membayangkan jika dokter dan suster di rumah sakit tidak melayani maka tentu saja kita harus beriba hati pada orang Indonesia yang sedang sakit.
Baiklah kita kembali kepada poin dari tulisan ini bahwa kita tidak akan pernah menang jika kita harus bertikai dengan pelanggan kita. Kasus Prita yang masih hangat dalam ingatan kita pun telah memberi pelajaran banyak bagi pelaku usaha khususnya mereka yang berhadapan dengan publik.
Setelah mendapatkan tekanan dari banyak pihak, Prita mendapatkan penangguhan statusnya sebagai tahanan kota. Departemen Kesehatan mempersoalkan pencantuman nama “international” pada rumah sakit yang bertikai tersebut. DPR melalui komisi yang membidangi kesehatan mengeluarkan rekomendasi pencabutan ijin rumah sakit yang bersangkutan. Jaksa yang terlibat dalam kasus tersebut dimutasikan, meskipun alasan mutasi dikatakan bukan terkait kasus Prita. Salah seorang karyawan rumah sakit seperti dikutip dari sebuah media mengatakan kunjungan pasien rumah sakit tersebut turun 10% dari biasanya. Muncul kasus-kasus lain dari pasien yang selama ini dirugikan.
Fakta-fakta di atas kiranya menjadi bukti bahwa kita tidak akan mungkin menang menghadapi pelanggan. Meskipun jika kita menemukan kemungkinan bahwa pelanggan salah, lagi-lagi kita harus kembali kepada aturan nomor satu, pelanggan selalu benar. Jika saja peraturan itu dipatuhi maka mudah-mudahan perusahaan Indonesia akan menjadi tuan di rumahnya sendiri. Bukankah bukan rahasia lagi bahwa orang Indonesia, bahkan para pejabatnya lebih suka berobat di luar negeri, lebih suka belanja produk import meskipun tanpa kode ML (Merek Luar) seperti yang disarankan oleh BPOM. Lebih suka belanja di toko milik orang asing dan yang segala yang berasal dari luar.
Sebenarnya apa yang ditawarkan oleh industri rumah sakit di luar? peritel asing, produk asing? Pelayanan dan kualitas. Kalau sekedar adu pintar, sudah terbukti bahwa orang-orang Indonesia tidak kalah pintar. Yang kurang adalah semangat melayani. Ketika semangat melayani terkontaminasi oleh semangat mencari uang maka rusaklah segala sendi-sendi kebaikan, yang sesunggunya menjadi inti dari setiap usaha apapun yang ingin tumbuh besar.

Friday, June 05, 2009

Pelanggan Selalu Benar (Aturan Utama yang Dilanggar dalam Kasus Prita)


Bahkan seorang Sam Walton harus belajar dari seorang Stew Leonards, yang notabene memiliki bisnis ritel lebih kecil dari pada Wal-Mart, mengenai customer service.
Stew Leonards mengatakan hanya ada 2 aturan dalam hubungan dengan customer service,
Aturan pertama, “The Customer is always right“ (pelanggan selalu benar).
Aturan kedua, “If the customer ever wrong, re-read Rule No 1” (jika pelanggan pernah salah maka baca kembali aturan nomor satu).
Kedua aturan yang disampaikan oleh Stew tadi bukan barang baru tetapi kebenarannya bisa dibuktikan sampai sekarang dan itulah salah satunya yang membuat Wal-Mart menjadi sebesar sekarang, peritel nomor satu dunia dengan omzet 4 kali lipat dari Carrefour dunia.
Dalam kasus Prita (seorang pasien yang dijebloskan ke penjara oleh manajemen rumah sakit di mana Prita pernah dirawat), sebagai pelanggan, terlepas dari cara yang dilakukan Prita dalam menyatakan ketidakpuasannya kepada manajemen rumah sakit, Prita tetaplah seorang pelanggan. Jika kita memahami aturan yang disampaikan oleh Stew Leonards tadi maka tidak akan terjadi sebuah rumah sakit menuntut pasiennya. Bagaimanapun juga pasien adalah pelanggan dari rumah sakit tersebut.
Berikutnya, dalam kasus seperti yang dialami Prita, makin terbukti teori bahwa “pelanggan selalu benar”. Pihak perusahaan bisa saja, karena kemampuan finansialnya, membayar pihak-pihak lain yang mana masih sangat mungkin dilakukan di Indonesia. Menekan pelanggan atau bahkan menantang pelanggan ke pengadilan, namun hal itu bukan cara yang efektif. Bahkan akan terjadi kontra produktif. Dalam era kebebasan informasi seperti sekarang ini, informasi akan menyebar luas tanpa kendali. Sekarang perusahaan yang bertikai bukan hanya akan berhadapan dengan 1orang pelanggan melainkan akan berhadapan dengan masyarakat luas yang bahkan tidak tahu menahu masalah yang sebenarnya dari pertikaian tersebut. Bahkan sekarang juga harus berhadapan dengan para politisi yang memanfaatkan isu seperti ini untuk menunjukkan kepeduliannya pada kaum kecil yang tertindas. Pihak perusahaan mungkin sekali tidak menduga bahwa kasusnya akan membesar seperti sekarang ini. Yang jelas perusahaan menjadi sangat terkenal, sayangnya untuk sebuah publikasi buruk.
Yang dibutuhkan oleh perusahaan justru upaya segera untuk menyelesaikan masalah secara cepat dan memuaskan dari semua pihak. Jika pelanggan ditangani dengan baik maka kemungkinan dia melampiaskannya ke luar akan sangat kecil. Kedua, apakah kita menyediaan sarana bagi pelanggan untuk menyampaikan ketidakpuasannya. Jika kita tidak memberi akses maka pelanggan akan mencari akses lain yaitu ke publik.
Semoga kasus Prita dengan pihak rumah sakit tersebut menjadi pelajaran berharga bagi dunia usaha khususnya mereka yang berurusan dengan layanan publik. Anda tidak bisa menang ketika bertikai dengan pelanggan Anda. Satu pelanggan yang tidak puas akan menyebarkan ketidakpuasannya dengan rela, tanpa dibayar. Dan itu dampaknya buruk sekali.