Thursday, November 05, 2009

Permen Bukan Alat Pembayaran Pengganti Uang Receh


Berikut saya cuplikan berita yang bersumber dari Kompas.com:

"Direktur Perlindungan Konsumen Depdag Radu Malam Sembiring menegaskan, aturan pengembalian dalam transaksi ritel tertuang jelas dalam UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia.

UU BI menetapkan, seberapa pun kecil nilai kembalian dalam setiap transaksi, tetap harus menggunakan alat pembayaran yang sah. ”Kami masih memberikan waktu bagi peritel untuk membenahi. Setelah ini kami akan mengambil tindakan tegas,” kata Radu, kemarin.

Jika peritel tetap membandel, Radu menilai, mereka telah melanggar UU BI dan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen sehingga perlu terkena tindakan tegas.
Namun, sebelum mengambil tindakan tegas yang tak dia sebutkan dalam bentuk apa, Radu mengatakan, masalah transaksi ini lebih dulu diselesaikan langsung dengan instansi terkait, yaitu BI.

Sebab, dalih pengusaha, mereka terpaksa memberikan permen karena tak mudah lagi bagi mereka mendapatkan uang receh untuk kembalian transaksi. ”Kami kesulitan untuk mendapatkan uang receh,” kata Heri Sumantri, Ketua Bidang Kemitraan dan Departemen UKM Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia.

Namun, BI tak bisa begitu saja menerima dalih dari para pedagang tersebut. ”Perusahaan ritel bisa menukar ke BI dan kami sudah menyediakan,” kata Ery Setiawan, Kepala Bagian Pengelolaan Uang Keluar BI.


Masalah pengembalian dalam pecahan uang kecil memang menjadi isu yang tak habis-habisnya bagi peritel. Meskipun yang dipermasalahkan adalah nilai uang yang tak seberapa namun tetap saja menjadi masalah yang sepertinya tak berujung. Beberapa peritel di daerah mengatakan susah sekali mendapatkan uang kecil dari bank-bank. Bahkan bank-bank swasta mengatakan kesulitan mendapatkan tukaran uang kecil dari BI. Dari berita yang saya cuplik di atas BI membantah bahwa mereka tak menyediakan uang receh. Mana yang benar sulit sekali dibuktikan.
Seandainya saja kesulitan itu memang nyata dan tidak seindah yang dikatakan pejabat BI maka saya tetap menganjurkan kepada Peritel untuk lebih baik membayar lebih daripada mengambil uang receh yang tak seberapa itu namun membentuk kesan buruk di mata konsumen. Beberapa peritel yang tidak percaya dengan konsep tersebut tetap saja ngotot mengembalikan uang receh dengan permen. Tindakan yang akan diambil oleh Departemen Perdagangan tentu saja adalah bukti nyata bahwa konsumen tidak rela jika peritel memberikan permen sebagai pengganti uang receh.

Kesulitan menjadi Peluang

Setiap masalah sebenarnya adalah peluang untuk membangun persepsi baik di mata konsumen. Beberapa peritel sudah lebih dari dua tahun lalu menciptakan beberapa terobosan. Carrefour sebagai contoh, melakukan sistem "Simpel" atau Sistem Pembulatan. Bila mana ada nilai pecahan pada kembalian uang belanja konsumen maka dengan menekan tombol tertentu kasir akan membulatkan ke bawah nilai belanja konsumen sehingga nilai kembalian belanjanya bisa lebih mudah untuk dikembalikan.
Contoh lain, saat bencana gempa di Padang beberapa waktu lalu, beberapa peritel membuat program sumbangan di mesin kasir yang mana bila ada kembalian receh sebesar Rp25 ke atas maka Kasir akan menawarkan ke konsumen apakah uang kembalian dalam pecahan kecil tersebut mau disumbangkan ke korban gempa. Jika konsumen setuju maka Kasir akan menekan tombol tertentu pada mesin kasir untuk membukukan sumbangan dari kembalian uang receh tersebut dan akan tercantum pada struk pembelian. Konsumen gembira karena uang receh tersebut memberi nilai lebih daripada berbentuk permen yang pada umumnya juga jarang sekali dimakan.

Dengan contoh di atas kiranya para peritel tetap kreatif dalam menyikapi segala permasalahan dalam bisnisnya. Selalu ada solusi dan bahkan solusinya begitu sederhana namun jika dikelola dengan baik sebuah masalah bisa menjadi manfaat.

Foto: http://farm3.static.flickr.com/2163/2419607697_0c8f7584ab.jpg

Tuesday, July 21, 2009

Basic Principles of Retail Business


Basic Principles of Retail Business adalah buku ke-3 dari Retail Excellence Series karya Christian F. GUSWAI.
Jika Anda ingin tumbuh besar, cepat dan kuat di kemudian hari maka Anda tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip dasar dari bisnis retail yang dibahas secara menyeluruh di dalam buku ini.
Bisnis retail modern Indonesia kebanyakan tumbuh dari bisnis kecil atau bisnis keluarga yang kemudian tumbuh menjadi bisnis dalam skala menengah namun jarang sekali tumbuh menjadi bisnis dalam skala besar. Kebanyakan bisnis ritel yang tumbuh besar di Indonesia belakangan hari ini adalah bisnis ritel asing.
Jelas sekali di sini, kurangnya pengetahuan akan hal-hal yang dasar kerap kali membuat sebuah bisnis tidak mampu tumbuh cepat, besar, dan kuat manakala harus berhadapan dengan bisnis retail skala nasional apalagi multinasional. Hal ini bukan semata-mata dikarenakan besarnya modal dari peritel skala besar tersebut namun kebanyakan disebabkan oleh lemahnya peritel skala kecil tadi dalam membangun fondasi yang kokoh bagi bisnisnya sehingga munculnya persaingan sedikit saja sudah menjadi hambatan besar bagi bisnisnya.
Karena itu bagi peritel yang ingin terus tumbuh maka tidak ada cara lain kecuali menjadikan bisnisnya benar sejak awal dan itu dimulai dari diterapkannya dasar-dasar bisnis ritel yang baik dan benar sejak awal.

No ISBN: 978-979-27-5440-7 (sebutkan nomor ini untuk pencarian lebih cepat)
Distributor: Gramedia dan toko buku terkemuka lainnya

Friday, June 19, 2009

Efektif atau Efisien, Mana yang Lebih Penting?


Kalau Anda ditanya penting mana antara efektif dan efisien? Maka jawaban spontan adalah kedua-duanya. Sekarang kalau ditanya, mana yang lebih penting? Dan dipertajam dengan, kalau harus pilih salah satu, utamakan efektif atau efisien? Pada umumnya langkah pertama adalah melakukan cutting cost. Tindakan cutting cost pasti dilandasi oleh semangat efisiensi.

Baiklah saya ceritakan 2 kasus berikut yang baru saja diceritakan rekan baik saya Pak Yongky dari The Nielsen Company Indonesia siang tadi. Nama dua peritel yang dikisahkan akan saya rahasiakan karena tidak ingin menimbulkan prasangka-prasangka lain selain ingin berbagi tentang topik di atas.

Dua buah peritel dengan format bisnis serupa. Bagaimana mereka bertindak menghadapi isu krisis ekonomi babak kedua yang gencar diberitakan di media massa sejak akhir tahun lalu.

Peritel A, melakukan efisiensi di segala bidang dengan melakukan cutting cost di segala bidang. Termasuk mengurangi tenaga kerja, mematikan AC (tokonya lebih panas dan pengap), mengurangi penerangan dengan mematikan sebagian lampu (tokonya lebih redup), dan tindakan-tindakan lainnya yang kesemuanya bertujuan menekan cost. Herannya tidak disertai upaya keras untuk melakukan sesuatu yang bisa menghasilkan peningkatan sales.

Peritel B, menghadapi situasi yang sama namun melakukan hal yang sama sekali berbeda. Krisis adalah saat berbenah. Mereka lakukan sejak tahun lalu. Beberapa toko berwajah baru, konsep baru, lebih cling, lebih terang dan lebih modern. Tampilan karyawannya pun dipoles sehingga lebih menarik. Di segi merchandising, mereka belajar dari situasi ekonomi masyarakat. Di bidang fashion, masyarakat tetap ingin sepatu baru, baju baru, meskipun uang sedang seret. Solusinya? Adakan sepatu, baju, dan produk murah lainnya. Tidak perlu yang mahal karena harga sebanding dengan kualitas, bukan? Jadi dengan kualitas yang tidak setinggi biasanya namun tidak kalah mode dengan trend terkini maka harga bisa lebih murah. Upaya yang dilakukan peritel B pun menampakkan hasil.

Menutup semester 1 peritel A membukukan penurunan sales, sedangkan peritel B malah menunjukkan kinerja yang sangat memuaskan, tetap tumbuh bahkan 2 digit.

Belajar dari dua kisah di atas, pada umumnya tindakan pertama kita dalam menghadapi krisis adalah menekan cost. Jarang sekali peritel berpikir bagaimana meningkatkan sales. Saya tidak ingin mempertentangkan kedua tindakan tersebut. Namun saya ingin menganjurkan supaya segala daya upaya kita bukannya digunakan untuk bagaimana memikirkan menekan cost, tetapi gunakan itu untuk meningkatkan sales. Tentu saja, sumber daya yang sudah ada harus produktif. Ini saatnya berbenah dari segala sisi. Semua orang harus pada performance terbaiknya. Justru pada saat krisis akan lebih mudah melihat siapa yang memberi kontribusi terbaiknya.

Efisien adalah baik. Bukan karena krisis kita harus efisien namun sebaiknya efisien sejak awal. Bukan karena krisis kita lalu memotong segala hal. Ingat tujuan utama dari bisnis kita. Menciptakan sales dan profit melalui upaya menyediakan kebutuhan pelanggan melalui ketersediaan barang, pelayanan yang prima, dan kepantasan harga dengan manfaat yang diperoleh.

Jika fokus Anda hanya pada cutting cost, pertanyaannya, bagaimana menyediakan kebutuhan yang diinginkan pelanggan? Contoh, di fresh product. Karena khawatir akan stock berlebih tidak terjual, kita tidak menjual sea food secara lengkap melainkan hanya pada week end. Lalu kalau hari biasa ada pelanggan yang ingin belanja sea food? Mereka harus kecewa dan ke tempat lain. Artinya kita tidak bisa diandalkan sebagai tempat belanja harian, melainkan tempat belanja akhir pekan saja.

Karena ingin efisien kita tidak mengoperasikan penuh AC, akibatnya toko menjadi lebih panas, pelanggan harus berkeringat belanja di tempat kita. Inikah layanan yang prima itu?

Karena ingin efisien,beberapa lampu dimatikan, bahkan yang putus tidak diganti dengan yang baru. Maka toko kita akan redup dan menimbulkan suasana remang-remang yang tidak bersemangat. Sama seperti semangat pengelolanya yang mulai redup.

Karena ingin efisien rasio pegawai dengan luasan area tidak sebanding mengakibatkan sulit sekali memuaskan pelanggan. Berapa sering pelanggan harus mencari-cari petugas kita yang seringkali menghilang dari peredaran di lapangan.

Tentu saja kasus-kasus di atas sama sekali jauh dari kebutuhan dasar dari sebuah bisnis retail yang seharusnya. Barangkali ini saatnya kita meninjau ulang taktik dan strategi kita dalam menghadapi krisis. Jika Anda mengutamakan kepentingan pelanggan Anda, mudah-mudahan mereka melihat kesungguhan itu dan menjadi setia dengan bisnis Anda. Mohon diingat 68% pelanggan beralih ke kompetitor Anda karena mendapatkan pelayanan yang tidak layak. Service tidak hanya sekedar ramah. Padahal tampilan ramah jauh lebih mudah dilakukan. Kalau untuk ramah saja kita bisa gagal, bagaimana untuk melakukan yang lebih dari itu. Semoga berguna.

Catatan: sebagai referensi, Anda bisa baca di 2 buku saya yang sudah terbit mengenai perluasan dari Service

Monday, June 15, 2009

Pelanggan Selalu Benar (2)


Ketika tulisan ke-1 dengan judul yang sama keluar di sini, banyak yang tidak sepaham dengan isi tulisan tersebut. Bahkan ada yang berpendapat bahwa urusan rumah sakit bukan hanya urusan pelayanan saja melainkan ….(berisi argumen dari yang tidak setuju).
Saya justru harus bertanya, kalau bukan urusan pelayanan lalu urusan apakah sebuah rumah sakit itu? Bukankah justru sebuah rumah sakit adalah sebuah usaha yang sarat dengan pelayanan. Saya tidak bisa membayangkan jika dokter dan suster di rumah sakit tidak melayani maka tentu saja kita harus beriba hati pada orang Indonesia yang sedang sakit.
Baiklah kita kembali kepada poin dari tulisan ini bahwa kita tidak akan pernah menang jika kita harus bertikai dengan pelanggan kita. Kasus Prita yang masih hangat dalam ingatan kita pun telah memberi pelajaran banyak bagi pelaku usaha khususnya mereka yang berhadapan dengan publik.
Setelah mendapatkan tekanan dari banyak pihak, Prita mendapatkan penangguhan statusnya sebagai tahanan kota. Departemen Kesehatan mempersoalkan pencantuman nama “international” pada rumah sakit yang bertikai tersebut. DPR melalui komisi yang membidangi kesehatan mengeluarkan rekomendasi pencabutan ijin rumah sakit yang bersangkutan. Jaksa yang terlibat dalam kasus tersebut dimutasikan, meskipun alasan mutasi dikatakan bukan terkait kasus Prita. Salah seorang karyawan rumah sakit seperti dikutip dari sebuah media mengatakan kunjungan pasien rumah sakit tersebut turun 10% dari biasanya. Muncul kasus-kasus lain dari pasien yang selama ini dirugikan.
Fakta-fakta di atas kiranya menjadi bukti bahwa kita tidak akan mungkin menang menghadapi pelanggan. Meskipun jika kita menemukan kemungkinan bahwa pelanggan salah, lagi-lagi kita harus kembali kepada aturan nomor satu, pelanggan selalu benar. Jika saja peraturan itu dipatuhi maka mudah-mudahan perusahaan Indonesia akan menjadi tuan di rumahnya sendiri. Bukankah bukan rahasia lagi bahwa orang Indonesia, bahkan para pejabatnya lebih suka berobat di luar negeri, lebih suka belanja produk import meskipun tanpa kode ML (Merek Luar) seperti yang disarankan oleh BPOM. Lebih suka belanja di toko milik orang asing dan yang segala yang berasal dari luar.
Sebenarnya apa yang ditawarkan oleh industri rumah sakit di luar? peritel asing, produk asing? Pelayanan dan kualitas. Kalau sekedar adu pintar, sudah terbukti bahwa orang-orang Indonesia tidak kalah pintar. Yang kurang adalah semangat melayani. Ketika semangat melayani terkontaminasi oleh semangat mencari uang maka rusaklah segala sendi-sendi kebaikan, yang sesunggunya menjadi inti dari setiap usaha apapun yang ingin tumbuh besar.

Friday, June 05, 2009

Pelanggan Selalu Benar (Aturan Utama yang Dilanggar dalam Kasus Prita)


Bahkan seorang Sam Walton harus belajar dari seorang Stew Leonards, yang notabene memiliki bisnis ritel lebih kecil dari pada Wal-Mart, mengenai customer service.
Stew Leonards mengatakan hanya ada 2 aturan dalam hubungan dengan customer service,
Aturan pertama, “The Customer is always right“ (pelanggan selalu benar).
Aturan kedua, “If the customer ever wrong, re-read Rule No 1” (jika pelanggan pernah salah maka baca kembali aturan nomor satu).
Kedua aturan yang disampaikan oleh Stew tadi bukan barang baru tetapi kebenarannya bisa dibuktikan sampai sekarang dan itulah salah satunya yang membuat Wal-Mart menjadi sebesar sekarang, peritel nomor satu dunia dengan omzet 4 kali lipat dari Carrefour dunia.
Dalam kasus Prita (seorang pasien yang dijebloskan ke penjara oleh manajemen rumah sakit di mana Prita pernah dirawat), sebagai pelanggan, terlepas dari cara yang dilakukan Prita dalam menyatakan ketidakpuasannya kepada manajemen rumah sakit, Prita tetaplah seorang pelanggan. Jika kita memahami aturan yang disampaikan oleh Stew Leonards tadi maka tidak akan terjadi sebuah rumah sakit menuntut pasiennya. Bagaimanapun juga pasien adalah pelanggan dari rumah sakit tersebut.
Berikutnya, dalam kasus seperti yang dialami Prita, makin terbukti teori bahwa “pelanggan selalu benar”. Pihak perusahaan bisa saja, karena kemampuan finansialnya, membayar pihak-pihak lain yang mana masih sangat mungkin dilakukan di Indonesia. Menekan pelanggan atau bahkan menantang pelanggan ke pengadilan, namun hal itu bukan cara yang efektif. Bahkan akan terjadi kontra produktif. Dalam era kebebasan informasi seperti sekarang ini, informasi akan menyebar luas tanpa kendali. Sekarang perusahaan yang bertikai bukan hanya akan berhadapan dengan 1orang pelanggan melainkan akan berhadapan dengan masyarakat luas yang bahkan tidak tahu menahu masalah yang sebenarnya dari pertikaian tersebut. Bahkan sekarang juga harus berhadapan dengan para politisi yang memanfaatkan isu seperti ini untuk menunjukkan kepeduliannya pada kaum kecil yang tertindas. Pihak perusahaan mungkin sekali tidak menduga bahwa kasusnya akan membesar seperti sekarang ini. Yang jelas perusahaan menjadi sangat terkenal, sayangnya untuk sebuah publikasi buruk.
Yang dibutuhkan oleh perusahaan justru upaya segera untuk menyelesaikan masalah secara cepat dan memuaskan dari semua pihak. Jika pelanggan ditangani dengan baik maka kemungkinan dia melampiaskannya ke luar akan sangat kecil. Kedua, apakah kita menyediaan sarana bagi pelanggan untuk menyampaikan ketidakpuasannya. Jika kita tidak memberi akses maka pelanggan akan mencari akses lain yaitu ke publik.
Semoga kasus Prita dengan pihak rumah sakit tersebut menjadi pelajaran berharga bagi dunia usaha khususnya mereka yang berurusan dengan layanan publik. Anda tidak bisa menang ketika bertikai dengan pelanggan Anda. Satu pelanggan yang tidak puas akan menyebarkan ketidakpuasannya dengan rela, tanpa dibayar. Dan itu dampaknya buruk sekali.

Saturday, May 09, 2009

Perilaku Konsumen Ketika Menghadapi Kekosongan Barang (out of stock)

Ketika menghadapi kekosongan barang konsumen di negara berkembang seperti Philipina(40%), Indonesia(47%), dan India(48%) memiliki kecenderungan untuk berpindah ke toko lain. Demikian laporan Nielsen berdasarkan Shoppers Trend 2007. Angka % di dalam kurung menunjukkan persentase pelanggan yang memilih pindah ke toko lain manakal toko yang dikunjunginya mengalami kekosongan persediaan.

Data ini menguatkan tulisan saya sebelumnya tentang bagaimana kita bisa menjaga sales kita tetap tinggi di tengah persaingan yang semakin marak.

Persediaan barang khususnya yang bersifat fast moving items merupakan faktor yang sangat krusial. Peritel yang tidak ingin kehilangan pelanggannya sebaiknya sungguh-sungguh mengupayakan agar tidak terjadi kekosongan barang.

Bagaimana caranya? Ada baiknya Anda membaca kembali beberapa cara yang sudah saya ulas di dalam buku pertama saya How to Operate Your Store Effectively yet Efficiently.

Friday, April 17, 2009

Bagaimana Mungkin Carrefour Bisa Memberi Diskon 90%?


Beberapa waktu lalu beberapa surat kabar nasional mewawancarai beberapa nara sumber terkait iklan dari Carrefour yang memberi diskon 90% di libur panjang Pemilu lalu. Tidak hanya Carrefour sebenarnya yang melakukan promosi besar-besaran menyambut libur panjang Pemilu lalu namun hanya Carrefour yang paling mengundang perbincangan.
Di dalam tulisan hasil wawancara di Kompas seorang nara sumber mengatakan seolah-olah Carrefour mampu melakukan itu karena kemampuannya menekan supplier (pemasok) melalui trading term. Juga mengatakan bahwa KPPU harus menyelidiki dan berbagai komentar lain yang menuduh bahwa Carrefour telah melakukan tindakan salah.
Saya ingin menyampaikan pandangan saya selaku praktisi dan konsultan yang tahu bagaimana seluk beluk sebuah bisnis ritel dikelola.
Pertama, yang diobral besar-besaran oleh Carrefour adalah barang-barang dalam kelompok general merchandise yang memiliki margin rata-rata antara 30%-50%. Itu margin antara rata-rata berarti ada kelompok barang yang memiliki margin di atas 50%.
Kedua, yang diobral itu juga sebagian besar adalah barang-barang lama dan tinggal sisa-sisa yang harus dibersihkan secara berkala karena dengan berbagai alasan antara lain: model sudah kuno, kondisi barang sudah tidak terlalu baik, sudah agak lusuh dan ada lecet kecil di sana-sini.
Ketiga, hanya beberapa barang saja yang jumlahnya juga tidak banyak yang didiskon 90% sedangkan sebagian besar lagi tidak didiskon 90% melainkan hanya didiskon 30%-50%. Itu sendiri ditulis di Kompas jadi semua orang juga bisa menghitung bahwa tidak semua barang didiskon 90%.
Itu hanya sedikit alasan kenapa diskon itu mungkin dilakukan tanpa harus merugi. Nah berikut saya akan ulas secara lebih detil untuk menunjukkan contoh mengapa Carrefour bisa melakukan itu. Tetapi sebelum terlampau jauh, saya harus katakan bahwa ini bukan teknologi dari Carrefour saja. Ini hanya hitungan matematis terapan yang bisa diterapkan peritel manapun.
Perhatikan tabel di paling atas tulisan ini.
Contoh dalam tabel di atas. Jika sebuah peritel membeli barang sebanyak 5.000 buah dengan harga pokok pembelian (HPP) Rp 1.000,-. Jika peritel ingin mendapatkan margin sebesar 40% maka dia harus menjual Rp 1.666,67.
Nah, barang tersebut belum tentu sukses dijual dengan harga yang diinginkan oleh peritel bukan? Katakanlah ternyata barang tadi hanya mampu dijual dengan harga normal sebanyak 70% nya saja berarti hanya terjual sebanyak 3.500 buah dengan harga Rp 1.666,67. Sedangkan sisanya yang 1.500 buah pada waktu yang sudah ditentukan, misalkan 6 bulan, sudah dianggap ketinggalan jaman sehingga daripada hanya memenuhi rak dan menjadi uang mati maka lebih baik dilakukan clearance sales. Nah itulah yang dilakukan oleh Carrefour tadi, contohnya dengan melakukan diskon besar-besaran. Kalau perlu diskon 90%.
Mari kita kembali lihat tabel di atas. Jika sisa barang sebanyak 30% atau 1.500 buah diobral sampai dengan 90% pun maka peritel harus menjual dengan harga Rp 166,67. Memang rugi dan memang di bawah harga perolehan.
Sekarang mari lihat hasil akhirnya. Penjualan 70% dari total persediaan awal ditambah penjualan 30% dari total persediaan yang diobral menghasilkan penjualan Rp 6.083.333,- sedangkan modal atau HPP-nya hanya Rp 5.000.000,- Itu artinya peritel masih mengalami untung Rp 1.083.333,- atau untung sebesar 17.81%. Memang tidak sebesar yang direncanakan namun juga tidak rugi. Hanya marginnya saja berkurang.
Jadi, setelah melihat argumentasi di atas ditambah lagi hitungan yang rada teknis seperti yang saya uraikan di atas, nyata bahwa apa yang dilakukan oleh Carrefour bukanlah sesuatu yang harus selalu dicurigai sebagai suatu tindakan yang melanggar kepatutan bisnis apalagi melanggar peraturan. Perlu juga bagi media untuk mencari nara sumber yang berkompeten agar bisa mendapatkan pandangan yang berimbang sekaligus mencerdaskan masyarakat dan pelaku usaha serta tidak menimbulkan keresahan dunia usaha.

Wednesday, April 15, 2009

Bagaimana Menciptakan Outstanding Service

Pada tahun 1992 saya ditugaskan selain sebagai Store Manager juga memimpin suatu Task Force Team yang merumuskan bagaimana jaringan toko kami bisa memberikan Outstanding Service kepada customers. Pada saat itu toko kami justru dipersepsikan bukan yang termurah dan bukan juga yang terlengkap namun berhasil meraih persepsi “has better service”.

Atas dasar itulah maka manajemen memutuskan untuk mendorong hal yang bagus tadi untuk lebih kuat lagi. Ini alasan dibentuknya team task force Outstanding Service tersebut.

Dari minggu ke minggu tanpa putus saya dan 6 Customer Service Officer (CRO) setingkat Supervisor melakukan meeting rutin merumuskan berbagai masalah yang terkait pelayanan kami kepada pelanggan. Bayangkan dalam waktu 6 bulan ada +/- 24 minggu dan di masing-masing minggu kami membahas dari 6 toko @ 3 kasus. Maka dalam 6 bulan kami sudah melahirkan buku kasus berisikan lebih dari 400 kasus tentang bagaimana menyelesaikan komplain customers secara outstanding, bukan hanya service yang baik tapi yang Outstanding Service, luar biasa baik.

Setelah buku pertama diterbitkan maka kami sudah mulai dengan 6 bulan ke-2, sayangnya program itu terhenti karena ada pergantian manajemen sehingga program ini seolah-oleh lenyap. Lebih disayangkan kumpulan kasus tersebut lenyap entah kemana.

Berita baiknya, semua solusi masih ada di kepala sayaJ.

Maka itu pada kesempatan ini saya memberikan kesempatan kepada siapapun untuk menyampaikan kasus mengenai komplain customer dari yang ringan sampai yang paling berat.

Saya akan berusaha sebisa mungkin untuk memberikan jawaban kepada Anda semua, bagaimana sebaiknya kita menyelesaikan komplain tersebut secara Outstanding.

Bagi teman-teman yang berpartisipasi akan dipilih 10 orang yang memberikan kontribusi paling baik untuk mendapatkan buku Outstanding Service for Retail Business yang saat ini sedang dalam proses penulisan akhir.

Dan bagi 3 rekan-rekan yang memberikan kontribusi terbanyak dalam bulan April ini akan menerima 1 buah buku terbaru saya yang berjudul Basic Principles of Retail Business yang mudah-mudahan terbit bulan Mei 2009.

Aturan dalam memasukkan kasus untuk dijawab:

1.Boleh mengirimkan sebanyak mungkin kasus ke milis RetailZoom: retailzoom@yahoogroups.com (bila belum member harus subscribe terlebih dahulu)

2.Kasus harus dengan data yang lengkap supaya bisa dijawab dengan baik

3.Kasus boleh dijawab oleh siapapun di forum milis Retailzoom agar menjadi pembelajaran bagi semua orang

PS: Pesan ini boleh diforward ke teman-teman lain yang membutuhkan tetapi untuk bisa memasukkan kasus harus member retailzoom.

Wednesday, April 01, 2009

Menyoal pernyataan “Toko medium dilarang di permukiman”

Berikut adalah kutipan langsung dari berita di Bisnis Indonesia 01/04/2009

"Departemen Perdagangan tegas melarang keberadaan toko modern medium (midi) di areal permukiman, karena format itu masuk kelompok supermarket.


Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Depdag Gunaryo menegaskan toko midi dengan luas 400 m2-800 m2 merupakan taktik peritel untuk mengakali format supermarket agar bisa masuk ke permukiman……."

Yang dimaksud toko medium itu memang toko yang tidak sebesar supermarket tetapi tidak sekecil mini market. Perbedaan paling mencolok dari midi market ini adalah adanya tambahan produk fresh seperti sayur, buah juga daging, meskipun untuk yang terakhir ini tidak ada pengolahan di tempat, semuanya sudah dipre-packed.
Yang harus kita cermati bersama adalah statement dari Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Depdag tersebut. Benarkah dia akan tegas. Di beberapa pemukiman sudah banyak format midi ini. Apa yang akan dilakukan? Apakah tegas di sini berarti akan ada penutupan?
Kita lihat saja peraturan gubernur DKI era Sutiyoso yang melarang penambahan mini market. Begitu beliau turun peraturan itu dicabut dan dalam waktu singkat minimarket kembali membanjiri seluruh pelosok kota.
Saya tidak dalam posisi menolak keberadaan peritel manapun. Yang saya persoalkan adalah istilah”tegas” versi pejabat. Kalau saja Negara ini dipimpin oleh orang –orang tegas yang benar pastilah carut marut bisnis ritel di negara kita tidak akan seperti sekarang ini.
Belum selesai satu urusan keluar lagi peraturan baru. Sekarang pertanyaannya, apa dasar hukum dari pernyataan Pak Gunaryo tersebut?

Thursday, March 26, 2009

Bagaimana Menjaga Sales Anda Tetap Tinggi?

Jika menghadapai penurunan sales (penjualan) saya kerap kali ditanya oleh klien saya, “Apa yang harus dilakukan?”. Saya mempunyai jawaban saya sendiri yang sudah dituangkan di dalam kedua buku saya namun kali ini saya ingin membagi tips yang diterapkan oleh Wal-Mart dan bagaimana kita bisa mengambil pelajaran dari tips tersebut.
1. Pelanggan mengetahui apa yang mereka inginkan. Dengarkan mereka
Berapa banyak dari kita yang rela bersusah payah mendengarkan konsumen? Ketika rekan-rekan kerja kita atau mungkin kita berada di lantai penjualan toko, apakah kita menyapa pelanggan kita. Menanyai mereka apakah ada yang mereka cari belum disediakan. Di mana mereka biasa memenuhi kebutuhannya itu. Dengan beberapa pertanyaan cerdas maka kita bisa mendapatkan banyak hal. Pertama, kita tahu persis apa yang dicari pelanggan kita. Kedua, kita tahu kemana pelanggan kita biasa belanja, artinya kita tahu siapa pesaing utama kita. Ketiga, kita menimbulkan kesan baik di mata pelanggan.

2. Pemilihan waktu adalah segalanya-tetaplah dalam persediaan
Sedikit membingungkan namun penjelasannya sebagai berikut. Kita tidak pernah tahu kapan pelanggan akan membutuhkan barang yang dicarinya. Karena itu adalah tugas kita untuk selalu menjaga persediaan kita khususnya barang-barang yang memang tergolong barang yang paling diminati dan dalam kelompok fast moving items.

3. Setengah dari pelanggan yang ditanya sependapat jika mereka bertemu pelayan toko yang yang sangat membantu, mereka seringkali akhirnya berbelanja lebih banyak dari yang mereka rencanakan.
Saya pernah mengalami sendiri hal ini. Suatu hari saya membantu seorang bapak-bapak yang cukup berumur di lorong toko di kategori kopi dan teh. Meski agak ragu-ragu karena saya tidak mengenakan seragam petugas toko si Bapak tadi memberanikan diri bertanya mengenai kopi tarik instant yang sedang dicarinya. Saya segera membawa Bapak tersebut ke lorong lain di mana kategori kopi instant diletakkan. Kemudian saya menyodorkan beberapa kopi tarik instant kepadanya. Rupanya meskipun tidak ingat nama kopi yang dimaksudnya tetapi Bapak tersebut mengatakan “bukan” kepada beberapa merk kopi tarik instant yang saya sodorkan. Ternyata menurut salah seorang staf penjualan toko, barang yang dimaksud sudah ditarik karena sedang diburu BPOM karena belum memiliki ML dan sudah ditarik dari shelving toko. Segera saja saya sampaikan bahwa kopi tarik instant yang dicarinya sudah habis dan saya menyodorkan merk lain yang sudah pernah saya coba. Saya katakan, ”Bagaimana kalau Bapak mencoba kopi merk yang ini. Mungkin Bapak mau mencoba dulu yang ukuran kecil?”. Alih-alih memilih yang kecil Bapak tadi malah minta yang ukuran besar. Selepas meletakkan kopi yang saya tawarkan ke kereta belanjanya dia malah bertanya tentang barang yang lain. Merasa ada yang membantunya dengan baik Bapak tadi antusias belanja barang-barang yang lain.
Ini suatu contoh nyata bahwa sesungguhnya sales bisa diciptakan. Di bisnis ritel banyak peritel berpikir bahwa ritel adalah penjualan pasif. Buka toko, pelanggan datang membeli. Memang betul. Setelah mereka masuk maka tugas Anda menciptakan penjualan. Lakukan sesuatu, pasti ada hasilnya.

Monday, March 16, 2009

Oleh-oleh dari Sosialisasi Permendag No 53/2008


Kedatangan saya ke seminar Sosialisasi Permendag No 53/2008 khususnya tentang Trading Term pada Jumat, tanggal 13 Maret 2009 lalu seperti ajang temu kangen dengan para pemasok pasar modern. Ketika menginjakkan kaki ke lantai 2 di lobi ballroom sport club Kelapa Gading saya langsung disambut 3 perempuan cantik yang langsung mencecar saya dengan ucapan,”Hai Pak Guswai, masih ingat sama kita-kita tidak?”. Wah, hampir 6 tahun meninggalkan dunia praktis membuat saya seolah menderita amnesia ringan. Saya memang gampang ingat wajah tetapi sulit mengingat nama-nama indah mereka. Singkat cerita saya masuk ke ruangan ballroom yang sudah dipenuhi para undangan yang sebagian besar adalah pemasok. Saya sempat bertanya-tanya apakah hanya pemasok yang boleh hadir? Pertanyaan saya segera terhapus ketika melihat beberapa rekan dari peritel juga hadir di ruangan atas undangan Ketua Umum AP3MI.

Di luar dugaan dari pihak panitia maupun nara sumber yang diundang ternyata acara sosialisasi Permendag ini sangat diminati oleh para pemasok ritel modern. Sayang Menteri Perdagangan yang diundang tidak menghadiri acara ini tetapi hanya mengutus Sekretaris Dirjennya.

Singkat cerita acara dimulai dengan beberapa sambutan dari tamu-tamu VIP antara lain Ketua Umum AP3MI, Ketua Umum Aprindo Bapak Benjamin J. Mailool, Wakil Ketua Umum Bapak Pudjianto, Ketua Harian Aprindo Bapak Tutum rahanta, Anggota KPPU Bapak Tadjudin, serta Sekretaris Dirjen Departemen Perdagangan RI Bapak Gunaryo.

Setelah sambutan dari para tamu VIP acara dilanjutkan dengan tanya jawab antara hadirin dan nara sumber yang terdiri dari tamu-tamu VIP tadi.

Acara tanya jawab yang terdiri dari tiga termin jelas tidak menjawab kebutuhan hadirin mengingat masih banyak penanya yang tidak terakomodasi.

Beberapa poin yang tertinggal dari sosialisasi tersebut antara lain:

· Pemasok merasa bahwa implementasi di lapangan tidak berjalan sesuai isi Permendag No 53/2008. Hal ini menjadi pertanyaan pada umumnya dari pemasok.

· Aprindo mengutip survei dari Nielsen mengatakan bahwa peran dari ritel modern masih sangat kecil yaitu 0.5% dari total bisnis ritel. Pemasok mempunyai pilihan untuk memasok ke pasar modern atau ke pasar tradisional dengan segal konsekuensinya.

· Aprindo menjelaskan bahwa sampai sekarang sudah terbentuk margin dari trading term, tentunya tidak bisa serta merta dihilangkan begitu saja. Faktanya net profit dari peritel sangat kecil berkisar di angka 1%-2% saja. Bahwa terjadi perpindahan pos pada pembahasan trading term adalah hal yang dianggap wajar.

· Akan di bentuk forum komunikasi oleh Departemen Perdagangan untuk menjembatani permasalahan seputar implementasi Permendag No 53/2008.

Beberapa peserta sosialisasi yang saya temui merasa bahwa hasil dari sosialisasi masih mengambang, tidak ada jawaban tuntas. Ketua AP3MI sendiri di akhir dari acara menyampaikan pesan untuk menggunakan AP3MI sebagai wadah menyalurkan aspirasi dan permasalahan sehubungan dengan kerja sama dengan pemasok. Memangnya selama ini belum demikian?

Peran ritel modern memang masih kecil

Pemasok yang hadir di acara sosialisasi tersebut memang dari divisi yang memasok pasar modern. Bisnis mereka memang kecil dari ritel modern tetapi kepentingan mereka yang hadir bukanlah kepentingan seluruh perusahaan karena yang hadir hanya mewakili kepentingan divisi/bagian dari yang mensuplai ritel modern. Memang peran ritel modern masih kecil namun pertumbuhannya sangat menjanjikan.

Siapa melindungi peritel kecil di daerah?

Pandangan yang juga saya tanyakan ke nara sumber meskipun tidak terjawab dengan tuntas adalah bahwa jika kita semua sadar bahwa peran sektor ritel sangat penting lalu mengapa belum ada undang-undang atau peraturan menteri guna melindungi peritel kecil yang ada di daerah-daerah? Jika di dalam ruangan seminar kemarin terbentuk suasana seolah-olah pemasok teraniaya oleh peritel besar maka hal sebaliknya juga terjadi. Pemasok yang merasa kuat juga menekan peritel kecil. Peritel kecil di daerah yang lahir dari putra daerah mendapatkan perlakuan yang kurang memadai baik dari segi suplai apalagi dari dukungan berupa trading term yang fair. Tidak jarang peritel kecil di daerah tersebut tidak mendapatkan dukungan seperti yang diterima peritel modern besar skala nasional. Sebagai akibatnya mereka akan kehilangan daya saing mana kala peritel skala nasional baik asing maupun lokal masuk ke daerah. Kita lihat bahwa Carrefour, Giant, dan Hypermart seperti berlomba-lomba menyerbu ke kota provinsi bahkan ke kota Kabupaten.

Saya melihat bahwa acara sosialisasi tersebut bagus sebagai pembuka jalan ke arah tindakan yang lebih konkrit. Forum komunikasi yang akan dibentuk semoga segera terwujud dan bisa menjadi solusi dari permasalahan yang pastinya tidak akan mudah ini. Meski Aprindo secara resmi mengatakan akan tunduk pada peraturan namun menurut hemat saya pada akhirnya kesepakatan kedua belah pihak akan menentukan kelancaran kerja sama daripada tekanan pihak luar.

Ketergantungan pada Peritel Modern Skala Besar

Sekali lagi saya tekankan bahwa situasi sekarang ini terjadi karena selama ini pemasok kurang mendukung peritel kecil lainnya khususnya di daerah-daerah sehingga ketergantungan kepada peritel modern skala besar baik nasional maupun multinasional makin menjadi-jadi. Hal inilah yang sekarang dituai oleh para pemasok. Maju kena mundur tak rela. Sudah waktunya pemasok bersatu padu di bawah perhatian lebih baik dari pemerintah agar peritel kecil diberi dukungan serupa dengan yang diterima peritel besar sehingga dengan demikian penjualan tidak terlalu tertumpu pada hanya beberapa peritel besar saja. Terpusatnya kekuatan pada hanya beberapa peritel besar pasti tidak akan pernah baik, itu sama dengan meletakkan seluruh telur yang dimiliki ke dalam satu keranjang.

Jalan masih panjang, pekerjaan pemerintah pun beragam. Pelaku dunia usaha toh tetap harus bergerak dan mencari solusi terbaik bagi perkembangan usahanya.