Tidak seperti biasanya selama tiga hari berturut-turut saya
bisa bertemu dengan calon-calon klien yang sudah terhubung dengan saya sejak
beberapa waktu lalu. Yang paling lama sudah meminta janji bertemu sejak bulan
Agustus 2013 namun karena seringnya saya berada di luar kota mengunjungi
klien-klien sehingga baru di minggu ini bisa mewujudkannya dan itupun saya
borong habis dalam satu rentetan hari.
Apa yang menarik dari pertemuan-pertemuan tersebut. Ternyata
mereka datang dari latar belakang yang berbeda. Yang menyatukan mereka untuk
bertemu saya adalah tentunya keinginan untuk masuk ke bisnis retail modern. Dan
tentu saja latar belakang mereka berbeda-beda. Jenis bisnis ritel yang
diminatinya pun berbeda-beda. Ada yang bermain di bahan bangunan, yang lain di
supermarket kebutuhan sehari-hari, dan yang satunya lagi di barang-barang
berteknologi tinggi khususnya di bidang teknologi informasi.
Yang paling menarik, meskipun mereka datang dari latar
belakang bisnis beragam namun ada satu kekompakan di antara ketiganya yaitu
melihat segala sesuatu menjadi tidak berjalan lancar dikarenakan masalah sumber
daya manusia (SDM). Yang pertama harus menutup 3 dari 4 tokonya dikarenakan
masalah SDM. Yang kedua, menahan ekspansi bisnisnya meskipun lahan dan lokasi sudah
tersedia juga dikarenakan ketiadaan SDM. Dan yang ketiga terpaksa menahan diri
untuk mengejar pertumbuhan 100 toko dikarenakan lagi-lagi masalah SDM.
Benarlah ungkapan yang seringkali saya sampaikan di berbagai
kesempatan; bukan modal, bukan teknologi, bukan juga kurangnya lokasi yang akan
menghambat laju pertumbuhan sebuah bisnis melainkan ketiadaan manusia untuk
diberi kepercayaan mengelola pertumbuhan bisnis.
Apa yang aneh? Apakah kita kekurangan SDM sehingga menjadi
masalah umum bagi semua pebisnis ritel? Bukan, tentu saja bukan. Indonesia
dengan jumlah penduduk 240 juta dan sebagian besar adalah di usia produktif (muda)
adalah penyedia tenaga kerja berlimpah. Masalahnya kelimpahan tenaga kerja ini
tidak diikuti oleh kualitas yang memenuhi kebutuhan dunia usaha. Ini bukan
hanya di sektor bisnis ritel melainkan masalah bagi para pebisnis pada umumnya.
Yang paling dikeluhkan di antara banyak hal adalah tenaga
yang tersedia bukan saja kurang dalam hal pengetahuan, ketrampilan, namun
terlebih makin disadari bahwa kita kekurangan manusia dengan karakter atau
budaya yang baik. Jika itu keluhan pada umumnya jangan-jangan memang bangsa ini
memang tidak membangun karakternya sehingga yang tersedia di pasar adalah
manusia-manusia tanpa karakter selain juga miskin ilmu dan ketrampilan.
Lalu apa yang salah dengan ilmu dan ketrampilan? Ilmu
diperoleh melalui proses pendidikan. Saya rasa mendapatkan tenaga terdidik
minimal sekolah menengah atas bukanlah hal yang sulit di manapun itu.
Masalahnya adalah kualitas pendidikan yang ada memang tidak merata secara
kualitas. Pendidikan di Indonesia gagal membuat hubungan antara ilmu yang
dipelajari dengan manfaatnya di dunia nyata. Sebagai contoh saja, ilmu
matematika, lebih dipandang sebagai ilmu berhitung yang sama sekali tidak ada
relevansinya dengan dunia kerja. Padahal matematika mengajarkan kita tentang
logika. Mempelajari matematika harusnya melatih logika. Namun seringkali matematika
dijadikan ilmu hafalan yang kemudian lenyap tanpa bekas ketika mereka meninggalkan
bangku sekolah. Padahal di dunia nyata ilmu matematika sangat relevan dan terus
terpakai.
Hal yang saya sampaikan di atas akan terasa sekali di
daerah-daerah khususnya di luar pulau Jawa. Namun itu bukan berarti bahwa di
pulau Jawa tidak ada kesulitan mendapatkan orang yang terdidik baik dan siap
pakai. Masalah SDM secara merata ada di manapun.
Lalu apa solusinya? Mencari orang, yang juga tidak mudah
dikarenakan di beberapa industri khususnya di industri retail mendapatkan orang
berpengalaman termasuk mencari mahluk langka. Tidak heran jika bajak membajak
SDM di indutri retail sangat umum. Orang hanya berputar-putar dari satu
perusahaan ke perusahaan lain.
Beberapa klien luar pulau Jawa sangat berkeinginan untuk
memboyong (membajak) tenaga dari perusahaan ritel di pulau Jawa yang
diyakininya lebih hebat dan lebih mampu menjalankan bisnis retail mereka di
daerah. Jika itu ditanyakan ke saya maka saya katakan: itu adalah konsep “mencari
orang”. Cara ini tidak terlalu saya anjurkan karena dalam jangka panjang tidak
akan bertahan lama sehingga ujung-ujungnya akan memberikan biaya tinggi tanpa
hasil yang sesuai harapan.
Saya lebih menyarankan pada cara yang berdampak lebih awet
di masa depan yaitu dengan konsep “membentuk orang” daripada membajak orang. Apa
maksudnya? Daripada merekrut orang yang siap dalam dugaan “siap pakai” saya
lebih menganjurkan supaya membentuk SDM. Rekrut tenaga segar yang berpotensi,
yang masih idealis, bersemangat untuk diajari dari nol. Dengan cara ini kita
memastikan bahwa sejak awal budaya kerjanya sudah seperti yang kita mau yaitu
sesuai dengan budaya perusahaan. Sebagai catatan, jika perusahaan belum
mempunyai budaya perusahaan maka kewajiban pimpinan untuk menetapkan budaya
perusahaannya.
Pertanyaan berikutnya, siapa yang harus melatih mereka?
Tentu saja perusahaan. Dalam hal ini adalah sangat wajar jika perusahaan
mempunyai orang-orang yang bisa mengajari SDM yang ingin kita bentuk. Merekrut
orang berpengalaman (dalam kasus sebelumnya) tanpa kita sendiri tahu apakah
kualitas orang tersebut memang bagus akan membahayakan bisnis kita sendiri
karena perusahaan bisa dijalankan karyawan sesuai dengan cara-caranya, yang
belum tentu sesuai dengan budaya yang kita inginkan. Jadi adalah wajar jika
pimpinan perusahaan tahu persis apa yang akan dikerjakan orangnya, apakah sudah
sesuai dengan sistem dan prosedur yang benar. Jika sampai pimpinan perusahaan
tidak tahu mana yang benar maka itu adalah saat di mana dia harus mencari
bantuan dari orang yang memiliki ilmu yang bisa ditransfer untuk membenahi
sistem dan prosedur perusahaan.
Belum lagi dengan budaya yang dibawa oleh orang yang
direkrutnya. Apakah cocok dengan budaya perusahaan kita? Jangan-jangan terjadi
benturan budaya. Mohon diingat bahwa jika perusahaan tidak menetapkan budayanya
maka karyawan akan memaksakan budayanya-lah yang berlaku.
Jadi jelas sekali perbedaan antara 1) Mencari orang dan
mempekerjakannya dengan 2) Mencari orang untuk dibentuk/dididik sesuai
keingianan kita. Yang nomor 1, kita tidak yakin dengan kemampuannya serta belum
tentu bisa mengikuti budaya yang ditetapkan. Sedangkan yang nomor 2 kita
mendidik orang berpotensi dengan sistem dan prosedur yang kita mau juga memastikan
sikapnya sudah sesuai dengan budaya perusahaan.
Memang cara nomor 2 bukan cara yang cepat karena itu adalah
investasi pada SDM dalam arti yang sebenarnya. Layaknya sebuah investasi, dia
butuh waktu untuk dapat terlihat hasilnya. Karena tidak bersifat instan maka
sebaiknya perusahaan membuat rencana jangka panjang untuk menyiapkan tenaga
terdidik, berpengalaman, dengan karakter yang baik. Ketersediaan SDM harus
direncanakan sesuai dengan rencana pertumbuhan perusahaan. Jika perusahaan
gagal merencanakan hal tersebut maka pada suatu titik akan terjadi kebuntuan
seperti yang dialami ketiga calon klien yang baru saja memberi kesaksian kepada
saya yang menjadikan tulisan ini hadir dihadapan sidang pembaca. Saya yakin hal
yang sama adalah masalah kita pada umumnya karena itu, ini adalah waktu yang
tepat untuk merubah. Jika cara-cara yang kita pakai tidak menghasilkan sesuai
harapan maka rubah caranya.
Note: tulisan ini pernah dimuat di Majalah Retail Indonesia.