Thursday, June 26, 2014

Lagi-lagi Sumber Daya Manusia

Tidak seperti biasanya selama tiga hari berturut-turut saya bisa bertemu dengan calon-calon klien yang sudah terhubung dengan saya sejak beberapa waktu lalu. Yang paling lama sudah meminta janji bertemu sejak bulan Agustus 2013 namun karena seringnya saya berada di luar kota mengunjungi klien-klien sehingga baru di minggu ini bisa mewujudkannya dan itupun saya borong habis dalam satu rentetan hari.
Apa yang menarik dari pertemuan-pertemuan tersebut. Ternyata mereka datang dari latar belakang yang berbeda. Yang menyatukan mereka untuk bertemu saya adalah tentunya keinginan untuk masuk ke bisnis retail modern. Dan tentu saja latar belakang mereka berbeda-beda. Jenis bisnis ritel yang diminatinya pun berbeda-beda. Ada yang bermain di bahan bangunan, yang lain di supermarket kebutuhan sehari-hari, dan yang satunya lagi di barang-barang berteknologi tinggi khususnya di bidang teknologi informasi.
Yang paling menarik, meskipun mereka datang dari latar belakang bisnis beragam namun ada satu kekompakan di antara ketiganya yaitu melihat segala sesuatu menjadi tidak berjalan lancar dikarenakan masalah sumber daya manusia (SDM). Yang pertama harus menutup 3 dari 4 tokonya dikarenakan masalah SDM. Yang kedua, menahan ekspansi bisnisnya meskipun lahan dan lokasi sudah tersedia juga dikarenakan ketiadaan SDM. Dan yang ketiga terpaksa menahan diri untuk mengejar pertumbuhan 100 toko dikarenakan lagi-lagi masalah SDM.
Benarlah ungkapan yang seringkali saya sampaikan di berbagai kesempatan; bukan modal, bukan teknologi, bukan juga kurangnya lokasi yang akan menghambat laju pertumbuhan sebuah bisnis melainkan ketiadaan manusia untuk diberi kepercayaan mengelola pertumbuhan bisnis.
Apa yang aneh? Apakah kita kekurangan SDM sehingga menjadi masalah umum bagi semua pebisnis ritel? Bukan, tentu saja bukan. Indonesia dengan jumlah penduduk 240 juta dan sebagian besar adalah di usia produktif (muda) adalah penyedia tenaga kerja berlimpah. Masalahnya kelimpahan tenaga kerja ini tidak diikuti oleh kualitas yang memenuhi kebutuhan dunia usaha. Ini bukan hanya di sektor bisnis ritel melainkan masalah bagi para pebisnis pada umumnya.
Yang paling dikeluhkan di antara banyak hal adalah tenaga yang tersedia bukan saja kurang dalam hal pengetahuan, ketrampilan, namun terlebih makin disadari bahwa kita kekurangan manusia dengan karakter atau budaya yang baik. Jika itu keluhan pada umumnya jangan-jangan memang bangsa ini memang tidak membangun karakternya sehingga yang tersedia di pasar adalah manusia-manusia tanpa karakter selain juga miskin ilmu dan ketrampilan.
Lalu apa yang salah dengan ilmu dan ketrampilan? Ilmu diperoleh melalui proses pendidikan. Saya rasa mendapatkan tenaga terdidik minimal sekolah menengah atas bukanlah hal yang sulit di manapun itu. Masalahnya adalah kualitas pendidikan yang ada memang tidak merata secara kualitas. Pendidikan di Indonesia gagal membuat hubungan antara ilmu yang dipelajari dengan manfaatnya di dunia nyata. Sebagai contoh saja, ilmu matematika, lebih dipandang sebagai ilmu berhitung yang sama sekali tidak ada relevansinya dengan dunia kerja. Padahal matematika mengajarkan kita tentang logika. Mempelajari matematika harusnya melatih logika. Namun seringkali matematika dijadikan ilmu hafalan yang kemudian lenyap tanpa bekas ketika mereka meninggalkan bangku sekolah. Padahal di dunia nyata ilmu matematika sangat relevan dan terus terpakai.
Hal yang saya sampaikan di atas akan terasa sekali di daerah-daerah khususnya di luar pulau Jawa. Namun itu bukan berarti bahwa di pulau Jawa tidak ada kesulitan mendapatkan orang yang terdidik baik dan siap pakai. Masalah SDM secara merata ada di manapun.
Lalu apa solusinya? Mencari orang, yang juga tidak mudah dikarenakan di beberapa industri khususnya di industri retail mendapatkan orang berpengalaman termasuk mencari mahluk langka. Tidak heran jika bajak membajak SDM di indutri retail sangat umum. Orang hanya berputar-putar dari satu perusahaan ke perusahaan lain.
Beberapa klien luar pulau Jawa sangat berkeinginan untuk memboyong (membajak) tenaga dari perusahaan ritel di pulau Jawa yang diyakininya lebih hebat dan lebih mampu menjalankan bisnis retail mereka di daerah. Jika itu ditanyakan ke saya maka saya katakan: itu adalah konsep “mencari orang”. Cara ini tidak terlalu saya anjurkan karena dalam jangka panjang tidak akan bertahan lama sehingga ujung-ujungnya akan memberikan biaya tinggi tanpa hasil yang sesuai harapan.
Saya lebih menyarankan pada cara yang berdampak lebih awet di masa depan yaitu dengan konsep “membentuk orang” daripada membajak orang. Apa maksudnya? Daripada merekrut orang yang siap dalam dugaan “siap pakai” saya lebih menganjurkan supaya membentuk SDM. Rekrut tenaga segar yang berpotensi, yang masih idealis, bersemangat untuk diajari dari nol. Dengan cara ini kita memastikan bahwa sejak awal budaya kerjanya sudah seperti yang kita mau yaitu sesuai dengan budaya perusahaan. Sebagai catatan, jika perusahaan belum mempunyai budaya perusahaan maka kewajiban pimpinan untuk menetapkan budaya perusahaannya.
Pertanyaan berikutnya, siapa yang harus melatih mereka? Tentu saja perusahaan. Dalam hal ini adalah sangat wajar jika perusahaan mempunyai orang-orang yang bisa mengajari SDM yang ingin kita bentuk. Merekrut orang berpengalaman (dalam kasus sebelumnya) tanpa kita sendiri tahu apakah kualitas orang tersebut memang bagus akan membahayakan bisnis kita sendiri karena perusahaan bisa dijalankan karyawan sesuai dengan cara-caranya, yang belum tentu sesuai dengan budaya yang kita inginkan. Jadi adalah wajar jika pimpinan perusahaan tahu persis apa yang akan dikerjakan orangnya, apakah sudah sesuai dengan sistem dan prosedur yang benar. Jika sampai pimpinan perusahaan tidak tahu mana yang benar maka itu adalah saat di mana dia harus mencari bantuan dari orang yang memiliki ilmu yang bisa ditransfer untuk membenahi sistem dan prosedur perusahaan.
Belum lagi dengan budaya yang dibawa oleh orang yang direkrutnya. Apakah cocok dengan budaya perusahaan kita? Jangan-jangan terjadi benturan budaya. Mohon diingat bahwa jika perusahaan tidak menetapkan budayanya maka karyawan akan memaksakan budayanya-lah yang berlaku.
Jadi jelas sekali perbedaan antara 1) Mencari orang dan mempekerjakannya dengan 2) Mencari orang untuk dibentuk/dididik sesuai keingianan kita. Yang nomor 1, kita tidak yakin dengan kemampuannya serta belum tentu bisa mengikuti budaya yang ditetapkan. Sedangkan yang nomor 2 kita mendidik orang berpotensi dengan sistem dan prosedur yang kita mau juga memastikan sikapnya sudah sesuai dengan budaya perusahaan.
Memang cara nomor 2 bukan cara yang cepat karena itu adalah investasi pada SDM dalam arti yang sebenarnya. Layaknya sebuah investasi, dia butuh waktu untuk dapat terlihat hasilnya. Karena tidak bersifat instan maka sebaiknya perusahaan membuat rencana jangka panjang untuk menyiapkan tenaga terdidik, berpengalaman, dengan karakter yang baik. Ketersediaan SDM harus direncanakan sesuai dengan rencana pertumbuhan perusahaan. Jika perusahaan gagal merencanakan hal tersebut maka pada suatu titik akan terjadi kebuntuan seperti yang dialami ketiga calon klien yang baru saja memberi kesaksian kepada saya yang menjadikan tulisan ini hadir dihadapan sidang pembaca. Saya yakin hal yang sama adalah masalah kita pada umumnya karena itu, ini adalah waktu yang tepat untuk merubah. Jika cara-cara yang kita pakai tidak menghasilkan sesuai harapan maka rubah caranya.
Note: tulisan ini pernah dimuat di Majalah Retail Indonesia.